August 19, 2009
Oleh Ismujiarso
 
Seorang brand manager dengan nada masgul bertanya, “Kepada apa atau siapa sih sebenarnya para blogger itu berpihak?”
Pertanyaan semacam itu menyiratkan sebuah makna yang menggambarkan blogger sebagai sosok yang menakutkan. Faktanya, sebelumnya mengajukan pertanyaan tersebut, sang manajer telah membuat pengakuan yang cukup mengejutkan: dulu, perusahaan paling takut sama LSM, tapi sekarang yang mereka takuti adalah blogger.
Para blogger boleh bangga mendengar hal itu, tapi bagi saya, ada yang lebih penting untuk segera direnungkan bersama: apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam dunia media relation?
Barangkali sudah klise kalau dikatakan bahwa kehadiran blogger di tengah sistem komunikasi massa yang sebelumnya dikuasi oleh jurnalis telah meminta perhatian khusus dari para praktisi public relations (PR). Blogger, yang belakangan diperluas lagi cakupannya lewat istilah “onliners”, telah menjadi kekuatan baru yang minta diperhitungkan dalam setiap program kampanye produk Anda.
Bayangkan, dulu Anda hanya perlu mengecek halaman surat pembaca Kompas dan koran-koran besar untuk mengetahui, apa keluhan konsumen hari ini terhadap produk dan layanan Anda. Tapi sekarang Anda bisa dibuat jantungan setiap saat karena keluhan atas produk Anda bisa muncul di mana saja, dalam bentuk apa saja, tanpa terkontrol. Anda bisa tersedak ketika menyeruput kopi di pagi hari karena menjumpai pernyataan 140 karakter di Twitter yang menyebut-nyebut dalam nada negatif brand yang belum genap seminggu Anda luncurkan. Selera makan siang Anda tiba-tiba hilang karena sejam sebelumnya Anda menjumpai postingan di sebuah blog yang isinya caci-maki kasar terhadap produk Anda. Anda kesal, bingung dan bertanya-tanya dalam hati dengan marah, “Siapa sih mereka, apa kompetensi dan wewenang mereka untuk membicarakan produk saya sebegitu rupa? Apakah mereka memiliki kredibilitas yang bisa dipertanggungjawabkan?”
Tapi, sesaat Anda sadar, menyandarkan punggung di kursi dan bergumam, “Oke, kalian para blogger memang tak bisa dicegah. Lalu, apa yang harus kami lakukan? Bagaimana cara menghubungi kalian, agar kami bisa bicara? Apa kami juga perlu melakukan program khusus untuk, katakanlah, mengambil hati kalian?”
Blogger vs Jurnalis
Segala keluhan, pertanyaan, kebingungan ketidakpahaman atau bahkan mungkin kesalahpamanan terhadap sosok blogger, disadari atau tidak, secara teoritis maupun praktis, muncul dalam konteks perbandingan dengan sosok jurnalis. Maklum, sebelumnya masyarakat hanya mengenal saluran-saluran komunikasi massa “resmi” seperti koran, majalah, radio dan televisi, tempat di mana para jurnalis itu memainkan peran di belakangnya. Kemunculan para blogger membingungkan terutama karena dalam perbandingannya dengan para jurnalis itu, kita bisa mempertanyakan, “Bekerja untuk siapakah mereka? Apa kepentingan mereka?” Dalam buku The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel mengatakan, kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Apakah hal yang sama bisa kita tuntut dari para blogger itu?
Menurut saya, salah satu hal terpenting pertama yang harus diperhatikan adalah perbedaan yang paling mendasar dari keduanya, bahwa jurnalisme itu profesi, sedangkan blogging itu hobi. Meskipun ada sebagian sangat kecil blogger yang dibayar, namun secara umum aktivitas blogging adalah hobi. Perbedaan ini membawa sejumlah konsekuensi bagi keduanya, bahwa para jurnalis mencapai posisinya yang sekarang setelah melewati serangkain tahap dan syarat tertentu, bekerja berdasar aturan tertentu dan mempublikasikan tulisannya dengan tanggung jawab tertentu pula. Sedangkan blogger, mereka bisa siapa saja dalam kesehariannya, menulis “semau gue” dan tidak mewakili institusi tertentu. Sampai di sini saja kiranya kita sudah cukup mendapatkan gambaran, betapa para blogger memang lebih susah “dipegang ekornya” ketimbang para jurnalis. Dan, untuk itulah para praktisi PR, brand manajer maupun orang-orang marketing perlu melakukan pendekatan dan menerapkan perlakuan yang berbeda dalam menghadapi para blogger tersebut.
Rekomendasi
Sebagai orang yang pernah berdiri di dua wilayah tersebut, yakni sebagai jurnalis dan blogger, saya merekomendasikan sejumlah hal sebagai berikut:
1. Lupakan pertanyaan-pertanyaan dan tuntutan-tuntutan mengenai “kredibilitas” dan “kebenaran”
Dan, istilah-istilah “berat” lainnya yang mungkin kini berkecamuk di benak Anda ketika mendengar kata “blogger”, atau ketika sedang berhadapan dengan mereka. Secara diplomatis, keraguan Anda bisa dipatahkan dengan pertanyaan, “Apakah Anda akan mencari kebenaran dari orang yang melakukan sesuatu karena dibayar, atau dari orang yang melakukan hal yang sama karena memang dia suka melakukannya?” Di samping itu, bicara soal kredibilitas maka akan berlaku sama di mana saja, bahwa hal itu lebih tergantung pada kualitas individu ketimbang “label” yang melekat pada individu tersebut. Faktanya, ada wartawan yang menulis buruk dan asal-asalan, dan tidak sedikit blogger yang tulisan-tulisannya mendalam, kaya data pendukung, memperhatikan akurasi –pendek kata tulisannya bagus. Perlu diingat juga bahwa ada blogger yang sekaligus jurnalis, dan semakin banyak orang yang menekuni hobi nge-blog dengan serius dan profesional. Tapi, memang kalau kita bicara secara umum, sebagian (sangat) besar blogger menulis tanpa memperhatikan kaidah-kaidah yang diperlukan untuk sebuah tulisan. Jangankan memenuhi rumus 5 W + 1 H, secara struktur saja sering acak-adut.
2. Bangun kepercayaan
Setelah Anda tahu, ada blogger yang memang bagus dan ada yang benar-benar menulis “semau gue”, maka hal berikutnya yang perlu Anda ketahui adalah, mereka semua punya potensi untuk membicarakan produk Anda, baik secara positif maupun negatif. Untuk itu, bangunlah kepercayaan pada mereka. Tidak perlu takut secara berlebihan dan tanpa alasan, namun juga jangan memandang remeh mereka. Anda bisa menggunakan jasa konsultan untuk mengetahui “peta kekuatan” pata blogger itu: mana blogger yang berpengaruh, mana yang perlu diundang jika Anda akan meluncurkan produk baru, dan sebagainya.
3. Perlakukan secara berbeda
Berbeda bukan berarti, atau tidak selalu berarti, mengistimewakan. Meskipun, ada saat tertentu ketika Anda memang perlu mengistimewakan mereka. Namun, secara umum, berbeda yang saya maksud di sini lebih merujuk pada pemahaman yang “benar” terhadap eksistensi para blogger. Misalnya, pahami bahwa mereka tidak bekerja di bawah tuntutan deadline, sehingga ada baiknya kalau Anda tidak memperlakukan mereka seperti Anda memperlakukan wartawan: mengejar-ngejar mereka, menelepon tiga kali sehari menanyakan kapan berita tentang produk Anda akan dimuat. Oke., Anda memang telah mengundang mereka secara khusus, memberi mereka suvenir, dan menjamu mereka dengan tulus dan, well, istimewa. Namun, tetap saja, setelah itu mereka akan kembali ke dunia masing-masing, dan akan lebih mengutamakan kesibukan profesional mereka sehari-hari. Beri mereka sedikit kelonggaran kapan mereka harus menulis dan mem-posting tulisannya. Dan, sekali lagi, jangan terlalu berharap pada apa yang secara umum disebut sebagai “tulisan yang bagus” –mereka menulis sesuai kemampuan masing-masing, dan mempublikasikan sendiri tanpa melalui proses penyuntingan. Jika Anda menadapati tulisan yang begitu bagus dan benar tentang produk Anda, anggaplah itu bonus tak terduga yang menggembirakan, kejutan kecil yang menyenangkan.
Kesimpulan
Blogging adalah aktivitas yang bersifat individual, sedangkan jurnalisme terkait dengan institusi. Oleh karenanya “output” keduanya pun berbeda: tulisan-tulisan di blog lebih bersifat personal dan kental opini pribadi, dibandingkan dengan tulisan di media massa yang dituntut untuk objektif, seimbang dan faktual. Namun, di atas perbedaan-perbedaan itu, yang tentu saja masih bisa diperpanjang lagi daftarnya (Anda boleh menambahkannya di kolom komentar), baik blogger dan jurnalis memiliki persamaan di mata praktisi PR, yakni sama-sama perlu relationship yang benar. Hanya saja, cara mendekati keduanya berbeda. Prinsip-prinsip dalam media relation yang selama ini telah ditepakan, tidak bisa begitu saja dipraktikkan juga untuk blogger relationship. Dalam hal yang paling sederhana saja, misalnya bagaimana mengundang blogger, tidak bisa disamakan dengan mengundang wartawan. Ini kedengarannya sepele, tapi praktiknya sungguh susah. Intinya, jangan samakan blogger dengan jurnalis, baik dalam cara memandang maupun memperlakukannya. Yang jelas, apa pun yang terjadi, wajib hukumnya bagi para praktisi PR untuk mulai sekarang melakukan blogger relation dengan baik dan benar. Jika tidak, brand Anda taruhannya.
Diposting oleh my blog Label:

0 komentar:

Visit the Site
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger template by blog forum.