 
Kebenaran-kebenaran tentang Blogger: Apa yang Harus Diketahui dan yang Bisa Diharapkan oleh Orang PR
Selasa, 29 Maret 2011
di
09.43
 | 
Seorang brand manager dengan nada masgul bertanya, “Kepada apa atau siapa sih sebenarnya para blogger itu berpihak?”
            Dan,  istilah-istilah “berat” lainnya yang mungkin kini berkecamuk di benak  Anda ketika mendengar kata “blogger”, atau ketika sedang berhadapan  dengan mereka. Secara diplomatis, keraguan Anda bisa dipatahkan dengan  pertanyaan, “Apakah Anda akan mencari kebenaran dari orang yang  melakukan sesuatu karena dibayar, atau dari orang yang melakukan hal  yang sama karena memang dia suka melakukannya?” Di samping itu, bicara  soal kredibilitas maka akan berlaku sama di mana saja, bahwa hal itu  lebih tergantung pada kualitas individu ketimbang “label” yang melekat  pada individu tersebut. Faktanya, ada wartawan yang menulis buruk dan  asal-asalan, dan tidak sedikit blogger yang tulisan-tulisannya mendalam,  kaya data pendukung, memperhatikan akurasi –pendek kata tulisannya  bagus. Perlu diingat juga bahwa ada blogger yang sekaligus jurnalis, dan  semakin banyak orang yang menekuni hobi nge-blog dengan serius dan  profesional. Tapi, memang kalau kita bicara secara umum, sebagian  (sangat) besar blogger menulis tanpa memperhatikan kaidah-kaidah yang  diperlukan untuk sebuah tulisan. Jangankan memenuhi rumus 5 W + 1 H,  secara struktur saja sering acak-adut.  
      
Pertanyaan  semacam itu menyiratkan sebuah makna yang menggambarkan blogger sebagai  sosok yang menakutkan. Faktanya, sebelumnya mengajukan pertanyaan  tersebut, sang manajer telah membuat pengakuan yang cukup mengejutkan:  dulu, perusahaan paling takut sama LSM, tapi sekarang yang mereka takuti  adalah blogger.
Para  blogger boleh bangga mendengar hal itu, tapi bagi saya, ada yang lebih  penting untuk segera direnungkan bersama: apa yang sebenarnya sedang  terjadi dalam dunia media relation? 
Barangkali  sudah klise kalau dikatakan bahwa kehadiran blogger di tengah sistem  komunikasi massa yang sebelumnya dikuasi oleh jurnalis telah meminta  perhatian khusus dari para praktisi public relations (PR).  Blogger, yang belakangan diperluas lagi cakupannya lewat istilah  “onliners”, telah menjadi kekuatan baru yang minta diperhitungkan dalam  setiap program kampanye produk Anda. 
Bayangkan, dulu Anda hanya perlu mengecek halaman surat pembaca Kompas dan  koran-koran besar untuk mengetahui, apa keluhan konsumen hari ini  terhadap produk dan layanan Anda. Tapi sekarang Anda bisa dibuat  jantungan setiap saat karena keluhan atas produk Anda bisa muncul di  mana saja, dalam bentuk apa saja, tanpa terkontrol. Anda bisa tersedak  ketika menyeruput kopi di pagi hari karena menjumpai pernyataan 140  karakter di Twitter yang menyebut-nyebut dalam nada negatif brand yang  belum genap seminggu Anda luncurkan. Selera makan siang Anda tiba-tiba  hilang karena sejam sebelumnya Anda menjumpai postingan di sebuah blog  yang isinya caci-maki kasar terhadap produk Anda. Anda kesal, bingung  dan bertanya-tanya dalam hati dengan marah, “Siapa sih mereka, apa  kompetensi dan wewenang mereka untuk membicarakan produk saya sebegitu  rupa? Apakah mereka memiliki kredibilitas yang bisa  dipertanggungjawabkan?”
Tapi,  sesaat Anda sadar, menyandarkan punggung di kursi dan bergumam, “Oke,  kalian para blogger memang tak bisa dicegah. Lalu, apa yang harus kami  lakukan? Bagaimana cara menghubungi kalian, agar kami bisa bicara? Apa  kami juga perlu melakukan program khusus untuk, katakanlah, mengambil  hati kalian?”
Blogger vs Jurnalis
Segala  keluhan, pertanyaan, kebingungan ketidakpahaman atau bahkan mungkin  kesalahpamanan terhadap sosok blogger, disadari atau tidak, secara  teoritis maupun praktis, muncul dalam konteks perbandingan dengan sosok  jurnalis. Maklum, sebelumnya masyarakat hanya mengenal saluran-saluran  komunikasi massa “resmi” seperti koran, majalah, radio dan televisi,  tempat di mana para jurnalis itu memainkan peran di belakangnya.  Kemunculan para blogger membingungkan terutama karena dalam  perbandingannya dengan para jurnalis itu, kita bisa mempertanyakan,  “Bekerja untuk siapakah mereka? Apa kepentingan mereka?” Dalam buku The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect,  Bill Kovach dan Tom Rosenstiel mengatakan, kewajiban pertama jurnalisme  adalah pada kebenaran. Apakah hal yang sama bisa kita tuntut dari para  blogger itu? 
Menurut  saya, salah satu hal terpenting pertama yang harus diperhatikan adalah  perbedaan yang paling mendasar dari keduanya, bahwa jurnalisme itu  profesi, sedangkan blogging itu hobi. Meskipun ada sebagian sangat kecil  blogger yang dibayar, namun secara umum aktivitas blogging adalah hobi.  Perbedaan ini membawa sejumlah konsekuensi bagi keduanya, bahwa para  jurnalis mencapai posisinya yang sekarang setelah melewati serangkain  tahap dan syarat tertentu, bekerja berdasar aturan tertentu dan  mempublikasikan tulisannya dengan tanggung jawab tertentu pula.  Sedangkan blogger, mereka bisa siapa saja dalam kesehariannya, menulis  “semau gue” dan tidak mewakili institusi tertentu. Sampai di sini saja  kiranya kita sudah cukup mendapatkan gambaran, betapa para blogger  memang lebih susah “dipegang ekornya” ketimbang para jurnalis. Dan,  untuk itulah para praktisi PR, brand manajer maupun orang-orang  marketing perlu melakukan pendekatan dan menerapkan perlakuan yang  berbeda dalam menghadapi para blogger tersebut. 
Rekomendasi
Sebagai  orang yang pernah berdiri di dua wilayah tersebut, yakni sebagai  jurnalis dan blogger, saya merekomendasikan sejumlah hal sebagai  berikut:
1. Lupakan pertanyaan-pertanyaan dan tuntutan-tuntutan mengenai “kredibilitas” dan “kebenaran”
2. Bangun kepercayaan 
Setelah  Anda tahu, ada blogger yang memang bagus dan ada yang benar-benar  menulis “semau gue”, maka hal berikutnya yang perlu Anda ketahui adalah,  mereka semua punya potensi untuk membicarakan produk Anda, baik secara  positif maupun negatif. Untuk itu, bangunlah kepercayaan pada mereka.  Tidak perlu takut secara berlebihan dan tanpa alasan, namun juga jangan  memandang remeh mereka. Anda bisa menggunakan jasa konsultan untuk  mengetahui “peta kekuatan” pata blogger itu: mana blogger yang  berpengaruh, mana yang perlu diundang jika Anda akan meluncurkan produk  baru, dan sebagainya. 
3. Perlakukan secara berbeda
Berbeda  bukan berarti, atau tidak selalu berarti, mengistimewakan. Meskipun,  ada saat tertentu ketika Anda memang perlu mengistimewakan mereka.  Namun, secara umum, berbeda yang saya maksud di sini lebih merujuk pada  pemahaman yang “benar” terhadap eksistensi para blogger. Misalnya,  pahami bahwa mereka tidak bekerja di bawah tuntutan deadline,  sehingga ada baiknya kalau Anda tidak memperlakukan mereka seperti Anda  memperlakukan wartawan: mengejar-ngejar mereka, menelepon tiga kali  sehari menanyakan kapan berita tentang produk Anda akan dimuat. Oke.,  Anda memang telah mengundang mereka secara khusus, memberi mereka  suvenir, dan menjamu mereka dengan tulus dan, well, istimewa.  Namun, tetap saja, setelah itu mereka akan kembali ke dunia  masing-masing, dan akan lebih mengutamakan kesibukan profesional mereka  sehari-hari. Beri mereka sedikit kelonggaran kapan mereka harus menulis  dan mem-posting tulisannya. Dan, sekali lagi, jangan terlalu  berharap pada apa yang secara umum disebut sebagai “tulisan yang bagus”  –mereka menulis sesuai kemampuan masing-masing, dan mempublikasikan  sendiri tanpa melalui proses penyuntingan. Jika Anda menadapati tulisan  yang begitu bagus dan benar tentang produk Anda, anggaplah itu bonus tak  terduga yang menggembirakan, kejutan kecil yang menyenangkan.
Kesimpulan
Blogging  adalah aktivitas yang bersifat individual, sedangkan jurnalisme terkait  dengan institusi. Oleh karenanya “output” keduanya pun berbeda:  tulisan-tulisan di blog lebih bersifat personal dan kental opini  pribadi, dibandingkan dengan tulisan di media massa yang dituntut untuk  objektif, seimbang dan faktual. Namun, di atas perbedaan-perbedaan itu,  yang tentu saja masih bisa diperpanjang lagi daftarnya (Anda boleh  menambahkannya di kolom komentar), baik blogger dan jurnalis memiliki  persamaan di mata praktisi PR, yakni sama-sama perlu relationship yang benar. Hanya saja, cara mendekati keduanya berbeda. Prinsip-prinsip dalam media relation yang selama ini telah ditepakan, tidak bisa begitu saja dipraktikkan juga untuk blogger relationship.  Dalam hal yang paling sederhana saja, misalnya bagaimana mengundang  blogger, tidak bisa disamakan dengan mengundang wartawan. Ini  kedengarannya sepele, tapi praktiknya sungguh susah. Intinya, jangan  samakan blogger dengan jurnalis, baik dalam cara memandang maupun  memperlakukannya. Yang jelas, apa pun yang terjadi, wajib hukumnya bagi  para praktisi PR untuk mulai sekarang melakukan blogger relation dengan baik dan benar. Jika tidak, brand Anda taruhannya.
Diposting oleh
my blog
Label:
TIK


 
















0 komentar:
Posting Komentar