Selasa, 12 April 2011
di
03.19
|
Berdasar Undang-Undang No. 37 tahun 1999, hubungan luar negeri Indonesia dilakukan dengan prinsip kesetaraan, saling menghargai, saling menguntungkan dan tanpa intervensi terhadap persoalan dalam negeri. Aktivitasnya didasarkan pada doktrin kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif. Sedangkan yang dimaksud dengan kebijaksanaan luar negeri adalah kebijaksanaan, sikap, dan langkah-langkah yang diambil Pemerintah RI dalam hubungannya dengan negara lain, organisasi internasional, dan subyek hukum internasional lainnya dalam konteks yang berkaitan dengan masalah-masalah internasional untuk mencapai tujuan nasional <http://www.deplu.go.id/policy/Ac-on-ForeignRelations.htm>.
Dari uraian ini ada beberapa kata yang perlu mendapat perhatian: bebas dan aktif, non-intervensi dan tujuan (baca: kepentingan) nasional. Kata bebas dan aktif, mungkin, menjadi karakter abadi khas Indonesia; non-intervensi lebih banyak terbukti dalam hubungan setidaknya dengan negara-negara Asia Tenggara; dan kepentingan nasional pada umumnya dipakai oleh semua negara sebagai tujuan dari pemberlakuan kebijakan luar negeri atau untuk menyiasati kondisi dalam negeri. Yang terakhir ini tentunya merupakan jawaban atas kenyataan bahwa politik luar negeri adalah “perpaduan dan refleksi dari perkembangan dalam negeri yang dipengaruhi oleh perkembangan situasi regional maupun internasional” (Wirajuda, 2003a).
Sejumlah kata di atas itu juga yang kemudian harus menjadi beban media massa ketika terpaksa memerankan diri dalam proses sosialiasi politik luar negeri. Artinya, isi media massa mau tidak mau harus merefleksikan bahwa politik luar negeri Indonesia adalah benar-benar bebas dan aktif. Media massa harus bertutur bahwa Indonesia tidak pernah sok rewel mengurusi urusan negara tetangga. Misalnya ada fakta-fakta atau kecenderungan politik luar negeri Indonesia terasa irasional, media massa pun harus meyakinkan audience-nya bahwa itu dilakukan untuk kepentingan nasional.
Keterpaksaan media massa membawa peran sosialisasi ini dilandasi oleh beberapa hal. Pertama, isi media massa pada dasarnya sudah dicacah-cacah untuk beragam muatan. Isi cacah-cacahannya tergantung pada peristiwa yang dianggap layak oleh media massa . Dalam hal ini, media massa yang menentukan kelayakan pesan yang disampaikannya dan bukan pihak lain yang merasa layak memesan isi media massa . Pengertian yang bisa diperoleh di sini, adalah kewenangan mutlak media massa untuk melaporkan atau tidak melaporkan peristiwa yang terkait dengan politik luar negeri Indonesia . Ini pun masih dalam salah satu fungsi umum media massa sebagai pemberi informasi; belum merambah fungsi persuasi, edukasi atau sosialisasi. Sebagai contoh bisa dilihat berita Kompas (2001) tentang pernyataan Mochtar Pabottinggi bahwa kebijakan politik luar negeri RI sudah benar.
Kedua, menjalankan peran sebagai sosialisator akan menjadi beban tersendiri bagi media massa . Ini pada dasarnya paralel dengan sejumlah pandangan yang meragukan kemampuan media massa untuk menjalankan fungsi persuasi dan edukasi atas dasar persyaratan keseragaman, rentang waktu, dan kontinyuitas isi pesan. Dengan mengingat bahwa tujuan akhir sosialisasi politik luar negeri adalah kepahaman dan kesepahaman orang atas kebijakan luar negeri yang diambil, ini sama artinya dengan memaksa media massa untuk mengamini dulu, mewartakan, mewartakan lagi, lagi-lagi mewartakan, dan terus mewartakan isi yang dengan sengaja dibentuk sampai penikmat media paham dan sepaham. Jika hal seperti ini harus dijalankan media massa , maka beban berat media massa akan menjadi semakin berat.
Ketiga, relevansi politik luar negeri bebas dan aktif (Wirajuda, 2003a) harus bertarung dengan tuduhan, hujatan dan amukan sejumlah kelompok bahwa Indonesia mengekor IMF, Amerika dan sejumlah kepentingan asing (Kompas, various edition 2001-2003). Media massa sama saja bunuh diri kalau secara sepihak mengarus pada pemberian informasi politik bebas dan aktif, apa lagi sampai terpaksa harus berperan sebagai sosialisatornya. Jalan aman, memberitakan dua versi pandangan itu dan sekali lagi, tetap pada pagar fungsi pemberian informasi, belum pada fungsi yang lain.
Keempat, adalah benar bahwa sasaran kebijakan luar negeri tetap terkait dengan kepentingan dalam negeri (nasional). Akan tetapi, pemberitaan tentang kebijakan luar negeri mestinya lebih ditujukan untuk konsumsi luar negeri. Ini semacam external public relations untuk kebijakan luar negeri bila menginginkan terbentuknya citra positif Indonesia di luar negeri. Pemanggul beban untuk ini yang lebih tepat adalah media massa asing atau media massa Indonesia berbahasa asing. Sedang internal public relations yang dijalankan media massa dalam negeri lebih ke arah pemberitaan bahwa Indonesia telah mengambil kebijakan tertentu untuk permasalahan tertentu.
Beban berat dan keterpaksaan media massa ini mungkin akan lebih mudah dipahami dari contoh dialogue HAM Australia dan Indonesia (Prajarto, 2003). Departemen Luar Negeri Australia secara jelas menegaskan adanya persyaratan peningkatan dan perlindungan HAM untuk hubungan luar negerinya. Sebaliknya , Indonesia , seandainya belum ada lompatan baru, tidak secara tegas menyatakan itu. Dengan asumsi bahwa upaya peningkatan dan perlindungan HAM akan lebih mudah dilakukan bila sejumlah kubu yang berbeda mau melakukan dialog, pemberitaan yang terkait dengan masalah dialog ini kemudian dikaji. Hasil secara umum adalah adanya ketimpangan menyolok antara pemberitaan dialog HAM dan pemberitaan kasus-kasus HAM, serta media lebih berperan sebagai pemberi informasi daripada menjalankan fungsi persuasi, edukasi atau sosialisasi peningkatan dan perlindungan HAM.
Dari uraian di atas, beberapa pengertian pokok bisa diambil. Pertama, media massa lebih tepat menjalankan fungsi pemberian informasi politik luar negeri. Kedua, penyebaran politik luar negeri lebih tepat diperankan oleh media massa asing atau media massa Indonesia berbahasa asing. Ketiga, fungsi sosialisasi politik luar negeri adalah beban tersendiri bagi media massa dan relatif belum atau kurang dijalankan. Keempat, sosialisasi politik luar negeri mungkin lebih tepat dijalankan melalui saluran-saluran yang lain.
Celah dalam Minimalitas Peran
Apabila ada kesepakatan bahwa peran sebagai pemberi informasi dapat dipandang sebagai bagian dari peran sosialisasi yang utuh, mungkin lebih mudah bagi media massa untuk menjalankan peran sosialisasi politik luar negeri Indonesia . Setidaknya, media massa telah mengenalkan politik luar negeri dan setidaknya pula sebagian masyarakat dalam negeri dapat mengaksesnya. Dengan begitu, upaya melacak benar tidaknya serta sejauh mana media massa menjalankan peran sosialisasi politik luar negeri ini cukup dilakukan dengan metode survei dan analisis isi (Prajarto, 1995 dan Prajarto, 2003); sedang pelacakan lebih mendalam tentang hal itu kiranya masih membutuhkan metode-metode lain yang lebih tepat (Nugroho, Eriyanto dan Surdiasis, 1999).
Taruh kata hal di atas bisa dipakai sebagai dasar pijakan, pertanyaan selanjutnya adalah elemen-elemen mana dari politik luar negeri Indonesia yang telah dan bisa dilayani media massa ? Identifikasi terhadap hal itu mengantar pada sejumlah butir berikut ini:
1. Fomula politik luar negeri bebas dan aktif. Kadar untuk ini lebih terasa bobotnya saat Indonesia masih harus berjuang mempertahankan eksistensi proklamasinya (Wirajuda, 2003b). Formula ini dalam pandangan Roeslan Abdulgani bukanlah dogma mati tetapi pedoman bertindak untuk kepentingan nasional dan perdamaian internasional dengan kekenyalan implementasinya (Wirajuda, 2003a).
2. Kebijakan diplomasi total dengan mendorong semua komponen bangsa (semua aktor bersama pemerintah) secara sinergis dan memandang substansi permasalahan secara integratif (Wirajuda, 2003a). Peran media massa untuk sosialisasi politik luar negeri mungkin lebih tepat dilakukan di sini dengan membuka ruang diskusi bagi publik dalam menyikapi perkembangan internasional yang melibatkan kepentingan Indonesia . Permasalahannya tetap sejauh mana radius cakupan yang bisa dijangkau media massa : masyarakat, kelompok-kelompok tertentu, atau perseorangan. Ini akan terasa bedanya jika dibandingkan dengan kebijakan dalam negeri.
3. Kepentingan terhadap persatuan nasional. Seperti halnya semua negara, perhatian terhadap persatuan nasional ini selalu muncul jika menyangkut politik luar negeri dan kepentingan nasional (Wirajuda, 2003a). Ironisnya, terkait dengan hal ini, media massa kerap berada dalam posisi terjepit dan tidak jarang berujung pada kebijakan dan tindakan-tindakan yang menghambat aktivitas pekerja media: resident journalists (foreign dan local), foreign reporters, undang-undang (CPJ, 2002).
4. Kebijakan, pernyataan sikap dan tindakan aktor-aktor politik luar negeri. Cakupan-nya bisa protes, penjelasan dan penegasan sikap, denial dan admission, serta simpati. Aktivitas butir keempat ini terlihat dalam pemberitaan: konfirmasi dan explorasi peristiwa. Sebagai misal: pernyataan pers tentang bom di Bali (Press Statement, 2002), kebijakan paskabom di WTC (Kompas, 2001), pertemuan membahas penyelundupan manusia (Wirajuda, 2003c), pernyataan awal tentang perkembangan terakhir di NAD (Wirajuda, 2003d).
5. Sikap dan reaksi masyarakat atas peristiwa dunia serta atas kebijakan politik luar negeri yang diambil. Respon ini pun bermacam-macam dan seandainya itu menimbulkan konflik baru di luar peristiwa utama yang terjadi, peran media massa akan terbagi menjadi empat: neutral, intensifier, diminisher, ignorer (Prajarto, 1993). Peran media massa yang diharapkan Pemerintah tentunya media massa lebih bertindak netral atau sebagai diminisher suatu konflik, agar fokus kebijakan politik luar negeri tidak terpecah dan dieksplotasi pihak lain untuk kepentingan tertentu.
Selain kelima kelompok di atas tentunya masih ada lagi elemen-elemen politik luar negeri Indonesia yang bisa diramaikan oleh media massa . Untuk tujuan pengenalan Undang-Undang yang dipakai sebagai tameng politik luar negeri Indonesia , misalnya, media massa dapat memuat dan mengulasnya. Namun hal seperti ini juga tetap harus dipahami sebagai peran awal media massa , dan masih jauh dari peran persuasi, edukasi atau sosialisasi.
Tak dapat dipungkiri dan perlu dicermati, media massa Indonesia pun berkemungkinan untuk dimanfaatkan negara dan aktor politik asing bagi kepentingan politik luar negeri mereka. Dalam hal ini, bisa jadi media massa Indonesia menjadi corong kebijakan politik negara asing atau mungkin menjadi perpanjangan tangan berita-berita yang dilansir media massa asing. Jika ini terjadi, harapan media massa membawakan peran politik luar negeri Indonesia menjadi sia-sia.
Solusi dan Galvanisasi Peran
Dengan menyadari keterbatasan peran yang bisa dimainkan oleh media massa dalam sosialisasi politik luar negeri, beberapa langkah pemecahan masalah perlu dikaji kemudian. Sosialisasi politik luar negeri pada dasarnya adalah pekerjaan besar yang bisa dimaknai sebagai bagian dari “diplomasi total” (Wirajuda, 2003a); menciptakan suasana yang membuat semua komponen bangsa bersikap aktif dan berpikir integratif. Harus diakui, pendekatan intermestik adalah salah satu cara yang sudah tepat untuk mengkomunikasikan Indonesia ke luar negeri dan mengkomunikasikan kondisi dunia luar ke Indonesia secara rasional. Dengan cara ini kemungkinan dapat dihindari sikap emosional sebagian anggota masyarakat dalam menyikapi suatu perkembangan yang melibatkan Indonesia dan pihak-pihak luar negeri.
Tanpa melepas rasa hormat pada peran yang sudah berusaha dihadirkan media massa , sosialisasi politik luar negeri kiranya dapat lebih tepat ditempuh melalui:
1. Pemerintah (Departemen Luar Negeri) merumuskan garis besar strategi sosialisasi politik luar negeri Indonesia secara integratif, sebagai tindak lanjut pembenahan struktur organisasi di Departemen Luar Negeri yang menyeimbangkan diplomasi bilateral, regional dan multilateral global. Dalam hal ini media massa ditempatkan sebagai faktor pendukung strategi integratif.
2. Penekanan komunikasi politik luar negeri melalui media massa asing dan media massa Indonesia berbahasa asing untuk konsumsi luar negeri dan pemanfaatan media massa dalam negeri untuk konsumsi ke dalam, jika media massa memang dipandang memiliki kekuatan signifikan dalam sosialisasi politik luar negeri.
3. Terkait dengan butir kesatu dan kedua, mungkin akan lebih tepat bagi Pemerintah untuk memanfaatkan saluran-saluran lain non-media massa dalam sosialisasi politik luar negeri. Program-program interdepartemental, internal public relations secara intensif dan dialog bersama dengan sejumlah aktor sebagai “agen lanjutan” yang dilakukan secara kontinyu dapat kiranya dipertimbangkan.
Kembali pada percakapan tentang peran media massa dalam sosialisasi politik luar negeri, kontribusi terbatas yang diberikan media massa untuk hal ini masih bisa diperluas. Dengan mengadopsi pemikiran White (2000), terdapat sejumlah faktor dari delapan yang dikemukakannya, yang bisa menjelaskan perluasan peran media dalam memotivasi penerimaan suatu kebijakan politik yang mengarah pada perubahan sosial.
Sejumlah faktor yang perlu diperhatikan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, media massa harus cakap menjalankan strategi-strategi penarik perhatian audiences. Dasar dari pemikiran ini kembali pada salah satu teori klasik ilmu komunikasi bahwa audiences tidak bersikap pasif; mereka mampu menciptakan media alternatifnya untuk menampilkan identitas mereka. Dalam hal ini media massa dipandang hanya lebih terkonsentrasi isinya serta lebih mempunyai kekuatan simbolik.
Kedua, media massa harus mampu menampilkan kebutuhan dan kepentingan audiences. Hal ini cukup sulit dilakukan karena audiences memiliki kebutuhan dan kepentingan beragam, namun prioritas untuk itu bisa diarahkan pada “demi kepentingan nasional” atau “demi kebudayaan nasional”. Ketiga, media massa harus mampu menghadirkan ruang bebas bagi kelompok-kelompok kecil dalam mengekspresikan identitas diri mereka tanpa rasa takut. Hambatan yang acap muncul untuk hal ini adalah kenyataan media massa sering terpana untuk menghadirkan magnitude dan prominence sebagai unsur nilai berita.
Keempat, media massa harus mampu menciptakan kondisi sosial (jaringan) yang menghubungkan para konsumen dengan medianya. Dengan cara ini sesungguhnya media massa dapat mempertahankan loyalitas audiences-nya sehingga lebih mudah bagi media untuk melakukan aktivitas perannya. Terakhir, media massa harus mampu menghubungkan keloyalan audiences dengan aktivitas-aktivitas sosial politik mereka. Namun perlu dicermati di sini, perlunya kehati-hatian media agar tidak terjebak dalam peran khususnya sebagai intensifier of conflict.
Penutup
Dari pemetaan harapan besar peran media massa dalam sosialisasi politik luar negeri seperti diuraikan di atas mungkin didapatkan hasil-hasil yang kurang begitu mendukung. Di permukaan, simbiosis antara media massa dan wilayah politik luar negeri bagai tak berbeda dengan hubungan antara media massa dan terorisme. Lebih ke dalam sedikit, ada ketimpangan kekuatan dalam tuntutan kebutuhan satu terhadap yang lain. Semakin ke dalam, peran salah satu pihak justru diharapkan dan, seandainya terdapat powerful drive, diharuskan mendukungnya.
Peran media massa bisa dipandang krusial sepanjang kekuatan media massa diyakini sebagai faktor dominan. Dalam kenyataannya, pada tingkat ini, peran media massa justru harus diterima dan ditempatkan sebagai faktor pendukung. Di samping itu, media massa pun memiliki otoritas untuk menentukan tentang mau atau tidak dirinya menjadi faktor utama; termasuk mau atau tidak dipasang sebagai faktor dominan. Bahkan ketika peran itu kemudian didapatkan dan dijalankan, pemilahan yang didapat hanya mengantar pada peran media massa dalam persebaran informasi; sebagai salah satu tahap dari proses sosialisasi menyeluruh.
Dari sisi berjalannya fungsi, sedikit atau banyak, salah satu atau beberapa, mungkin media massa dapat diasumsikan telah memberikan kontribusi dalam sosialisasi politik luar negeri. Persoalannya kembali berpulang pada upaya untuk memperbesar dinamika fungsi ini tanpa harus berbenturan dengan pagar otoritas masing-masing.
Referensi:
CPJ (Committee to Protect Journalists). 2002. Indonesia . dalam Attacks on the Press in 2002. Archived at: http://www.cpj.org/attacks02/asia02/indonesia.html.
Granato, Len. 1991. Reporting and Writing News. London : Prentice Hall.
Martin, L. John dan Anju Grover Chaudary. 1985. Comparative Mass Media System. London : Longman.
McNulty, Mel. 1999. Media Ethnicization and the International Response to War and Genocide in Rwanda . dalam Tim Allen dan Jean Seaton (eds.). The Media of Conflict. London : Zed Books. hal 268-286.
Nugroho, Bimo; Eriyanto dan Frans Surdiasis. 1999. Politik Media Mengemas Berita. Jakarta : ISAI.
Prajarto, Nunung. 2003. The Australian and Indonesian Dialogue on Human Rights: An International Communication Perspective. Sydney : The University of New South Wales .
-------------- 1995. The Australian and Indonesian News Coverage of the Dili Massacre. Sydney : The University of New South Wales .
--------------1993. Media Berita dalam sebuah Konflik. Yogyakarta : FISIPOL-UGM.
Press Statement. 2002. Archived at: http://www.deplu.go.id/detail.document.php?doc= 0723113c5 f215d307436f0811a69e835
Undang-Undang No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Archived at: http://www.deplu.go.id/policy/Ac-on-ForeignRelations.htm
White, Robert A. 2000. ‘The Role of Media in Generating Alternative Political Projects”. dalam Ingunn Hagen dan Janet Wasko (eds.). Consuming Audiences? Production and Reception in Media Research. New Jersey : Hampton Press. hal. 209-228.
Wirajuda, N. Hasan. 2003a. “Politik Luar Negeri RI: Refleksi Masa Lampau, Perkembangan Dunia Masa Kini dan Proyeksi di Masa Depan”. Seminar In Honour of Dr. H. Roeslan Abdulgani. Surabaya , 10 Mei 2003. Archived at http://www.deplu.go.id/policy/statements/menlu/speeches/samenlu-052103.htm.
--------------. 2003b. “Revolusi Pemikiran dan Diplomasi Kemerdekaan: Refleksi Sejarah Konperensi Asia-Afrika 1955 dan Relevansi Semangat Dasa Sila Bandung”. Pidato dalam kuliah umum di Universitas Padjadjaran, Bandung , 14 Maret 2003. Archived at: http://www.deplu.go.id/new/pidmenlu031703.htm.
--------------. 2003c. Statement at the Prepatory Meeting for the Second Regional Ministerial Conference on People Smuggling, Traficking in Persons and Related Transnational Crimes. Jakarta , 27 Maret 2003. Archived at: http://www.dfa-deplu.
go.id/detail.document.php?doc=b1450d14d39621119c6dd32d6af0151b.
--------------. 2003d. Introductory Remarks at the Briefing by the Government of Indonesia to the Heads of Missions and International Organizations on the Latest Development in the Province of Nanggroe Aceh Darussalam . Gedung Pancasila. 22 Mei 2003. Archived at: http://www.dfa-deplu.go.id/detail.document.php?doc=
46667f73f7b02b4a8898321886f75ac7.
Wright, Charles R. 1974. Functional Analysis and Mass Communication Revisited. dalam J.G. Blumler dan E. Katz (eds.). The Uses of Mass Communication. London : Sage Publications. hal. 197-212.
Kompas. 2001. “Mochtar Pabottinggi: Kebijakan Politik Luar Negeri RI Sudah Benar”. Archived at: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0110/01/nasional/
moch06.htm.
Kompas, berbagai edisi tahun 2002.
[1] Tulisan ini pernah disampaikan dalam Seminar Peran Media Massa dan Pengaruhnya dalam Proses Pembuatan Kebijakan Luar Negeri, diselenggarakan oleh Departemen Luar Negeri RI dan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta , 26 Juni 2003.
Selanjutnya : XL Award 2007
Diposting oleh
my blog
Label:
PKN
0 komentar:
Posting Komentar