Rabu, 23 Maret 2011
di
01.58
|
Apa sebenarnya budaya politik? Banyak ahli mendefinisikan pengertian budaya politik. Roy Macridis, mendefinisikan kebudayaan politik adalah sebagai tujuan bersama dan peraturan yang diterima bersama. Samuel Beer komponen-komponen kebudayaan adalah nilai-nilai keyakinan dan sikap emosi tentang bagaimana pemerintah seharusnya dilaksanakan dan tentang apa yang harus dilakukan pemerintah. Sedangkan menurut Finer, kebudayaan politik suatu bangsa terutama nampaknya terpusat terhadap legitimasi peraturan-peraturan dan lembaga politik serta prosedur. Kemudian Dennis Kavanagh, kebudayaan politik adalah sebagai pernyataan untuk menyatakan lingkungan perasaan dan sikap dimana sistem politik itu berlangsung. Adapun obyek-obyek politik mencakup bagian dari sistem politik, seperti badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, partai-partai politik, dan kelompok-kelompok organisasi, pandangan-pandangan individual sendiri sebagai pelaku-pelaku politik dan pandangannya terhadap warga masyarakat lain.
Robert Dahl, mendefinisikan kebudayaan politik adalah satu faktor yang menjelaskan pola-pola yang berbeda mengenai pertentangan politik. Adapun unsur budaya yang penting:
1.Orientasi masalah-masalah, apakah mereka pragmatik atau rasionalistis. Orientasi ini biasanya ditentukan/diarahkan oleh faktor-faktor eperti tradisi, kenangan sejarah, motif, agama, perasaan, dan simbol-simbol. Adapun komponen orientasi ini Cognitif (pengetahuan dan kesadaran tentang sistem politik), afektif, kecenderungan emosi terhadap sistem itu, dan evaluasi (pertimbangan terhadap sistem).
2.Orientasi terhadap aksi bersama, apakah mereka bersifat kerjasama atau tidak (kooperatif atau non kooperatif).
3.Orientasi terhadap sistem politik, apakah mereka setia atau tidak.
4.Orientasi terhadap orang lain, apakah mereka bisa dipercaya atau tidak.
Menurut Pye, indikator-indikator kebudayaan politik suatu bangsa mencakup faktor-faktor seperti wawasan politik, bagaimana hubungan antara tujuan dan cara standar untuk penilaian aksi politik serta nilai-nilai yang menonjol bagi aksi politik.
Definisi budaya politik yang lain diberikan Almond dan Verba, Menurut keduanya budaya politik merupakan sikap individu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sistem politik. Budaya politik tidak lain daripada orientasi psikologis terhadap obyek sosial, dalam hal ini sistem politik kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat kognitif, afektif dan evaluasi. Orientasi yang bersifat kognitif menyangkut pemahaman dan keyakinan individu terhadap sistem politik dan atributnya, seperti tentang ibukota negara, mata uang yang dipakai, dan lain sebagainya. Sementara itu orientasi yang bersifat afektif menyangkut ikatan emosional yang dimiliki oleh individu terhadap sistem politik. Jadi menyangkut feelings terhadap sistem politik. Sedangkan orientasi yang bersifat evaluatif menyangkut kapasitas individu dalam rangka memberikan penilaian terhadap sistem politik yang sedang berjalan dan bagaimana peranan individu di dalamnya (Gaffar, 2004:99-100). Pendapat lain lagi dikemukan oleh Rusadi Kantaprawira, Budaya politik merupakan persepsi manusia, pola sikapnya terhadap berbagai masalah politik dan peristiwa politik terbawa pula ke dalam pembentukan struktur dan proses kegiatan politik masyarakat maupun pemerintah(an), karena sistem politik itu sendiri adalah interrelasi antara manusia yang menyangkut soal kekuasaan, aturan dan wewenang (Kantaprawira, 1999:26).
Jadi kebudayaan politik tidak lain adalah bagian dari kebudayaan suatu masyarakat. Dalam kedudukannya sebagai satu subkultur, kebudayaan politik dipengaruhi oleh budaya secara umum.
Lalu bagaimana dengan budaya politik Indonesia? Menurut Afan Gaffar (Gaffar, 2004:106-118) budaya politik Indonesia yang dominan adalah yang berasal dari etnis Jawa, kecenderungan kepada patronage dan kecenderungan neo-patrimonialistik. Rusadi Kantaprawira, memberikan gambaran sementara tentang budaya politik Indonesia adalah sebagai berikut (Kantaprawira, 1999:37-39):
1.Konfigurasi subkultur di Indonesia masih beraneka ragam. Keaneka ragaman subkultur ini ditanggulangi berkat usaha pembangunan bangsa (nation building) dan pembangunan karakter (character building).
2.Budaya politik Indonesia bersifat parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan dilain pihak; di satu segi massa masih ketinggalan dalam menggunakan hak dan dalam memikul tanggungjawab politiknya - yang mungkin disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, ikatan primordial - sedang di lain pihak kaum elitnya sungguh-sungguh merupakan merupakan partisipan yang aktif – yang kira-kira disebabkan oleh pengaruh pendidikan moderen – kadang-kadang bersifat sekuler dalam arti relatif dapat membedakan faktor-faktor penyebab disintegrasi seperti agama, kesukuan dan lainnya, dengan kata lain kebudayaan politik Indonesia merupakan “mixed political culture” yang diwarnai dengan besarnya pengaruh kebudayaan politik parokial-kaula.
3.Sifat ikatan primordial yang masih berurat berakar yang dikenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu; puritanisme dan nonpuritanisme dan lain-lain. Di samping itu, salah satu petunjuk masih kukuhnya ikatan tersebut dapat dilihat dari pola budaya politik yang tercermin dalam struktur vertikal masyarakat di mana usaha gerakan kaum elit langsung mengeksploitasi dan menyentuh substruktur sosial dan subkultur untuk tujuan perekrutan dukungan.
4.Kecenderungan budaya politik Indonesia yang masih mengkukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial; sebagai indikatornya dapat disebutkan antara lain bapakisme, sikap asal bapak senang. Di Indonesia, budaya politik tipe parokial kaula lebih mempunyai keselarasan untuk tumbuh dengan persepsi masyarakat terhadap obyek politik yang menyandarkan atau menundukkan diri pada proses output dari penguasa.
5.Dilema interaksi tentang introduksi moderenisasi (dengan segala konsekwensinya) dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.
Varibel-variebel tersebut di atas terjali satu sama lain, berinteraksi, bersilangan, kadang-kadang berkoinsidensi yang bentuk potret sementaranya bergantung pada variabel tertentu yang relatif paling dominan. Akibat budaya politik seperti ini, dampak yang menonjol selama orde baru adalah kolusi, korupsi dan nepotisme. Pengangkatan seseorang pada jabatannya cenderung bukan berdasarkan prestasi tetapi pada kolusi atau nepotisme, peraturan tentang pengangkatan ada tetapi tidak ditaati.
Bentuk-bentuk mempolitisasi agama ini dapat dilakukan dengan dua cara pertama dengan menggunakan dari ayat-ayat tertentu dari agama yang dapat membenarkan tindakan yang dilakukan dan dua dengan mengerahkan massa turun ke jalan, apakah itu dalam bentuk demonstrasi atau pawai dijalanan istilah lainnya “tekanan dari jalanan”.
Diposting oleh
my blog
Label:
PKN
0 komentar:
Posting Komentar